Isu kenaikan harga BBM menyadarkan kita
bahwa konsumsi energi yang semakin meningkat dari tahun ke tahun tidak
seimbang dengan ketersediaan sumber energi tersebut. Kelangkaan dan
kenaikan harga minyak akan terus terjadi karena sifatnya yang
non-renewable. Kebutuhan dan ketergantungan energi di Indonesia yang
sangat tinggi diakibatkan karena populasi penduduk, jumlah pabrik,
perkantoran, dan industri yang sangat besar. Energi yang berasal dari
pertambangan fosil seperti jenis bahan bakar minyak, gasoline dan gas
sudah tidak mencukupi karena jumlah di alamnya sudah menipis tersisa
kurang lebih 3 x 1024 J atau setara dengan cahaya matahari kurang lebih 4 x 1024 J (Miyake, 1998)
sehingga kebutuhan akan energi baru tidak dapat ditunda lagi. Sudah
saatnya ketergantungan kebutuhan energi fosil yang non-renewable
digantikan dengan energi yang renewable, walaupun hal ini memerlukan
revolusi terbalik dari sistem industri energi sekarang. Selama ini kita
tinggal menggali kemudian memproses hasil tambangan menjadi berbagai
kebutuhan, sedangkan sekarang sudah saatnya mempersiapkan sumber energi
yang berkelanjutan dan dapat diperbaharui baru diolah menjadi energi
yang dibutuhkan. Berbagai macam pendekatan proses dapat digunakan baik
secara fisik kimiawi dan biologis. Salah satu pendekatan adalah
menggunakan aplikasi bioteknologi yang dapat menggabungkan aspek fisik
dan kimiawi menggunakan agen biologi. Secara umum bioteknologi adalah
teknik pendayagunaan organisma hidup atau bagiannya untuk membuat atau
memodifikasi suatu produk dan meningkatkan/ memperbaiki sifat organisma
untuk penggunaan dan tujuan khusus seperti untuk pangan, farmasi dan
energi (Miyamoto, 1997)
Pendekatan yang memungkinkan dengan
aplikasi bioteknologi adalah pengolahan biomasa terbuang (tidak
dimanfaatkan dengan maksimal) untuk menjadi karier energi atau energi
langsung. Disamping untuk mendapatkan sumber energi baru, usaha yang
terus menerus dilakukan dalam rangka mengurangi emisi CO2 guna mencegah
terjadinya pemanasan global telah mendorong penggunaan energi biomasa
sebagai pengganti energi bahan bakar fosil seperti minyak bumi dan batu
bara. Bahan bakar biomasa merupakan energi paling awal yang dimanfaatkan
manusia dan dewasa ini menempati urutan keempat sebagai sumber energi
yang menyediakan sekitar 14% kebutuhan energi dunia. Biomassa
mengkonsumsi CO2 selama proses pertumbuhan dan dalam jumlah yang sama
akan dilepas selama proses konversi energi, sehingga biomasa dikenal
sebagai energi bebas CO2 (bioetanol). Pada sektor transportasi, produksi
dan penggunaan bio-etanol sebagai alternatif pengganti BBM menarik
perhatian untuk mengupayakannya dalam suatu proses yang berkelanjutan sekaligus juga mengurangi cemaran CO2. Karena bio-etanol diproduksi dari sumber yang terbarukan, produksinya akan terus sustain dan
tidak akan terhenti seperti bahan bakar fosil. Lebih jauh lagi,
pemanfaatan biomassa dan produksi bio-etanol dikategorikan dalam siklus
karbon tertutup, sehingga tidak ada gas CO2 yang terbuang ke atmosfer.
Indonesia sebagai negara agraris yang
mayoritas penduduknya menjadikan beras sebagai makanan pokoknya, serta
produksi berasnya merata di seluruh tanah air. Berdasarkan angka ramalan
(Aram) III Badan Pusat Statistik (BPS) produksi gabah nasional tahun
ini diperkirakan mencapai 57,05 juta ton gabah kering giling (GKG).
Dengan produksi ini terjadi peningkatan 2,59 juta ton (4,76%) jika
dibandingkan dengan angka tetap (Atap) produksi 2006. Kenaikan produksi
ini didorong perluasan lahan panen seluas 379,18 ribu Ha (3,22%). Dengan
pertumbuhan produksi sebesar 5%, tahun depan target produksi padi
nasional akan mencapai 59,9 juta ton. Angka ini dicapai dengan
peningkatan produksi sebesar 2,85 juta ton GKG. (Affendi, 2008).
Selain itu, Indonesia mempunyai sekitar 60.000 mesin penggiling padi
yang tersebar di seluruh daerah yang menghasilkan limbah berupa sekam
padi 15 juta ton per tahun. Untuk kapasitas besar, beberapa mesin
penggiling padi dapat menghasilkan limbah 10-20 ton sekam padi per hari.
Limbah sering diartikan sebagai bahan buangan/bahan sisa dari proses
pengolahan hasil pertanian. Proses penghancuran limbah secara alami
berlangsung lambat, sehingga limbah tidak saja mengganggu lingkungan
sekitarnya tetapi juga mengganggu kesehatan manusia. Pada setiap
penggilingan padi akan selalu kita lihat tumpukan bahkan gunungan sekam
yang semakin lama semakin tinggi. Saat ini pemanfaatan sekam padi
tersebut masih sangat sedikit, sehingga sekam tetap menjadi bahan limbah
yang mengganggu lingkungan. Alternatif pengolahan sekam sangatlah
terbatas karena massa jenisnya yang rendah, dekomposisi secara alami
sangat lambat, dapat menimbulkan penyakit pada tanaman padi maupun
tanaman lain, kandungan mineral yang tinggi. Salah satu hal yang paling
sering dilakukan petani terhadap sekam padi adalah dengan pembakaran.,
akan tetapi aktivitas ini dapat meningkatkan jumlah polutan dalam udara
dan dapat mengganggu kesehatan masyarakat.
Sekam padi yang selama ini dipandang
sebagai limbah yang dianggap sebagai polutan lingkungan sebenarnya
adalah salah satu sumber energi biomasa yang dipandang penting untuk
menanggulangi krisis energi belakangan ini khususnya di daerah pedesaan.
Ketersediaan sekam padi di hampir 75 negara di dunia diperkirakan
sekitar 100 juta ton dengan energi potensial berkisar 1,2 x 109 GJ/tahun dan mempunyai nilai kalor rata-rata 15 MJ/kg (Fang, 2004).
Tidak seperti sumber bahan bakar fosil, ketersedian energi sekam padi
tidak hanya jumlahnya berlimpah tetapi juga merupakan energi
terbaharukan. Beberapa sumber energi biomasa mempunyai kendala akan
besarnya biaya investasi untuk pengumpulan, transportasi dan
penyimpanan. Akan tetapi untuk energi sekam padi, biaya-biaya diatas
relatif lebih kecil karena lokasinya sudah terkonsentrasi pada
pabrik-pabrik penggilingan padi. Jika suatu teknologi tersedia, bahan
bakar sekam padi ini akan bisa dikonversi menjadi energi thermal untuk
kebutuhan tenaga listrik di daerah pedesaan. Energi terbaharukan yang
bersumber dari sekam padi telah lama dilirik penggunaannya dan bahkan
telah dikonversi menjadi listrik di beberapa negara seperti China dan
India. Salah satu alasan kenapa bahan bakar sekam padi masih jarang
dipakai sebagai sumber energi yaitu karena kekurang-cukupan informasi
tentang karakteristik dan emisi yang dihasilkannya.
Sekam padi merupakan lapisan keras yang meliputi kariopsis yang terdiri dari dua belahan yang disebut lemma dan palea yang
saling bertautan. Pada proses penggilingan beras sekam akan terpisah
dari butir beras dan menjadi bahan sisa atau limbah penggilingan. Sekam
dikategorikan sebagai biomassa yang dapat digunakan untuk berbagai
kebutuhan seperti bahan baku industri, pakan ternak dan energi atau
bahan bakar. Dari proses penggilingan padi biasanya diperoleh sekam
sekitar 20-30% dari bobot gabah. Sekam padi memiliki komponen utama
seperti selulosa (31,4 – 36,3 %), hemiselulosa (2,9 – 11,8 %) , dan
lignin (9,5 – 18,4 %) (Champagne, 2004). Selulosa dan
hemiselulosa adalah suatu polisakarida yang dapat dipecah menjadi
monosakarida untuk selanjutnya dapat dimanfaatkan untuk produksi
senyawa-senyawa yang berguna, salah satunya adalah etanol. Produksi
etanol dari suatu sumber daya alam terbarukan (untuk selanjutnya disebut
bio-etanol) sejalan dengan program pemerintah melalui instruksi
Presiden No 1 Tahun 2006 tanggal 25 Januari 2006 tentang Penyediaan dan
Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai bahan bakar
alternatif. Selain itu pemanfaatan sekam padi untuk produksi etanol
berkontribusi pada penanganan limbah pertanian. Dari proses penggilingan
padi biasanya diperoleh sekam sekitar 20-30%, dedak antara 8- 12% dan
beras giling antara 50-63,5% data bobot awal gabah. Sekam dengan
persentase yang tinggi tersebut dapat menimbulkan problem lingkungan.
Ditinjau data komposisi kimiawi, sekam mengandung beberapa unsur kimia penting seperti dapat dilihat pada tabel 1.
Komponen | Persentase kandungan (%) | |
A | Menurut Suharno (1979) | |
1 | Kadar air | 9,02 |
2 | Protein kasar | 3,03 |
3 | Lemak | 1,18 |
4 | Serat kasar | 35,68 |
5 | Abu | 17,71 |
6 | Karbohidrat kasar | 33,71 |
B | Menurut DTC-IPB | |
1 | Karbon (zat arang) | 1,33 |
2 | Hidrogen | 1,54 |
3 | Oksigen | 33,64 |
4 | Silika | 16,98 |
Tabel 1 Komposisi kimiawi sekam
Dengan komposisi kandungan kimia seperti
tersebut pada tabel 1, sekam dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan
di antaranya: (a) sebagai bahan baku pada industri kimia, terutama
kandungan zat kimia furfural yang dapat digunakan sebagai bahan baku
dalam berbagai industri kimia, (b) sebagai bahan baku pada industri
bahan bangunan,terutama kandungan silika (SiO2 ) yang dapat digunakan
untuk campuran pada pembuatan semen portland, bahan isolasi, husk-board dan
campuran pada industry bata merah, (c) sebagai sumber energy panas pada
berbagai keperluan manusia, kadar selulosa yang cukup tinggi dapat
memberikan pembakaran yang merata dan stabil. Sekam memiliki kerapatan
jenis (bulk density) 125 kg/m3, dengan nilai kalori 1 kgsekam sebesar 3300 k. kalori. Menurut Houston (1972) sekam memiliki bulk density 0,100 g/ ml, nilai kalori antara 3300-3600 k. kalori/kg sekam dengan konduktivitas panas 0,271 BTU.
Dibandingkan bahan bakar fosil, sifat dan
karakteristik bahan bakar biomasa lebih kompleks serta memerlukan
persiapan dan pemrosesan yang lebih khusus. Sifat dan karakteristik
meliputi berat jenis yang kecil sekitar 122 kg/m3, jumlah abu
hasil pembakaran yang tinggi dengan temperatur titik lebur abu yang
rendah. Abu hasil pembakaran berkisar antara 16-23% dengan kandungan
silika senbesar 95%(Natarajan,1998). Titik lebur yang rendah disebabkan oleh kandungan alkali dan alkalin yang relatif tinggi. Kandungan uap air (moisture)
pada biomasa umumnya lebih tinggi dibandingkan bahan bakar fosil, akan
tetapi kandungan uap air pada sekam padi relatif sedikit karena sekam
padi merupakan kulit padi yang kering sisa proses penggilingan. Sekam
padi mempunyai panjang sekitar 8-10 mm dengan lebar 2-3 mm dan tebal 0,2
mm.
Karakteristik lain yang dimiliki bahan bakar sekam padi adalah kandungan zat volatil yang tinggi (high-volatile matter)
yaitu zat yang mudah menguap. Kandungan zat volatilnya berkisar antara
60-80% dimana bahan bakar fosil hanya mempunyai 20-30% untuk jenis batu
bara medium. Energi konversi yang dihasilkan lebih banyak berasal dari
zat volatil ini dibandingkan dengan bara api (solid residue) biomasa (Ogada,1996).
REFERENSI
Affendi, Sugiyatno, Imam Djunaedi dan
Haifa Wahyu KARAKTERISASI PLTD-SEKAM KAPASITAS 125 KVA DI PENGGILINGAN
GABAH PT. PERTANI-INDRAMAYU, Prosiding Seminar Nasional Sains dan
Teknologi-II 2008 Universitas Lampung, 17-18 November 2008 ISBN :
978-979-1165-74-7 VI-2
Miyake, J. The science of biohydrogen: an energetic view. Biohydrogen, (1998) 9-18.
Miyamoto, K., P.C. Hallenbeck, J.R. Benemann, Appl Environ Microbiol. 37 (1997) 454-458
Fang, M. L. Yang, G. Chen, Z. Shi, Z.
Luo, K. Cen, Experimental study on rice husk combustion in a CFB. Fuel
Processing Technology 85;2004:1273-82.
Natarajan, E. , A. Nordin, A.N. Rao,
Overview of combustion and gasification of rice husk in fluidized bed
reactors. Biomass and Bioenergy 1998;14( 5-6):533-546.
Ogada, T. , J .Werther, Combustion
characteristics of wet sludge in a fluidized bed: release and combustion
of the volatiles. Fuel 1996;75:617–626.
Champagne, Elaine T. 2004. RICE: Chemistry and Technology. American Association of Cereal Chemists Inc. St.Paul, Minnesota, USA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar