Kamis, 29 Agustus 2013

Sekam Padi, Sumber Energi yang Mulai Dilirik



Isu kenaikan harga BBM menyadarkan kita bahwa konsumsi energi yang semakin meningkat dari tahun ke tahun tidak seimbang dengan ketersediaan sumber energi tersebut. Kelangkaan dan kenaikan harga minyak akan terus terjadi karena sifatnya yang non-renewable. Kebutuhan dan ketergantungan energi di Indonesia yang sangat tinggi diakibatkan karena populasi penduduk, jumlah pabrik, perkantoran, dan industri yang sangat besar. Energi yang berasal dari pertambangan fosil seperti jenis bahan bakar minyak, gasoline dan gas sudah tidak mencukupi karena jumlah di alamnya sudah menipis tersisa kurang lebih 3 x 1024 J atau setara dengan cahaya matahari kurang lebih 4 x 1024 J (Miyake, 1998) sehingga kebutuhan akan energi baru tidak dapat ditunda lagi. Sudah saatnya ketergantungan kebutuhan energi fosil yang non-renewable digantikan dengan energi yang renewable, walaupun hal ini memerlukan revolusi terbalik dari sistem industri energi sekarang. Selama ini kita tinggal menggali kemudian memproses hasil tambangan menjadi berbagai kebutuhan, sedangkan sekarang sudah saatnya mempersiapkan sumber energi yang berkelanjutan dan dapat diperbaharui baru diolah menjadi energi yang dibutuhkan. Berbagai macam pendekatan proses dapat digunakan baik secara fisik kimiawi dan biologis. Salah satu pendekatan adalah menggunakan aplikasi bioteknologi yang dapat menggabungkan aspek fisik dan kimiawi menggunakan agen biologi. Secara umum bioteknologi adalah teknik pendayagunaan organisma hidup atau bagiannya untuk membuat atau memodifikasi suatu produk dan meningkatkan/ memperbaiki sifat organisma untuk penggunaan dan tujuan khusus seperti untuk pangan, farmasi dan energi (Miyamoto, 1997)

Pendekatan yang memungkinkan dengan aplikasi bioteknologi adalah pengolahan biomasa terbuang (tidak dimanfaatkan dengan maksimal) untuk menjadi karier energi atau energi langsung. Disamping untuk mendapatkan sumber energi baru, usaha yang terus menerus dilakukan dalam rangka mengurangi emisi CO2 guna mencegah terjadinya pemanasan global telah mendorong penggunaan energi biomasa sebagai pengganti energi bahan bakar fosil seperti minyak bumi dan batu bara. Bahan bakar biomasa merupakan energi paling awal yang dimanfaatkan manusia dan dewasa ini menempati urutan keempat sebagai sumber energi yang menyediakan sekitar 14% kebutuhan energi dunia. Biomassa mengkonsumsi CO2 selama proses pertumbuhan dan dalam jumlah yang sama akan dilepas selama proses konversi energi, sehingga biomasa dikenal sebagai energi bebas CO2 (bioetanol). Pada sektor transportasi, produksi dan penggunaan bio-etanol sebagai alternatif pengganti BBM menarik perhatian untuk mengupayakannya dalam suatu proses yang berkelanjutan sekaligus juga mengurangi cemaran CO2. Karena bio-etanol diproduksi dari sumber yang terbarukan, produksinya akan terus sustain dan tidak akan terhenti seperti bahan bakar fosil. Lebih jauh lagi, pemanfaatan biomassa dan produksi bio-etanol dikategorikan dalam siklus karbon tertutup, sehingga tidak ada gas CO2 yang terbuang ke atmosfer.
Indonesia sebagai negara agraris yang mayoritas penduduknya menjadikan beras sebagai makanan pokoknya, serta produksi berasnya merata di seluruh tanah air. Berdasarkan angka ramalan (Aram) III Badan Pusat Statistik (BPS) produksi gabah nasional tahun ini diperkirakan mencapai 57,05 juta ton gabah kering giling (GKG). Dengan produksi ini terjadi peningkatan 2,59 juta ton (4,76%) jika dibandingkan dengan angka tetap (Atap) produksi 2006. Kenaikan produksi ini didorong perluasan lahan panen seluas 379,18 ribu Ha (3,22%). Dengan pertumbuhan produksi sebesar 5%, tahun depan target produksi padi nasional akan mencapai 59,9 juta ton. Angka ini dicapai dengan peningkatan produksi sebesar 2,85 juta ton GKG. (Affendi, 2008). Selain itu, Indonesia mempunyai sekitar 60.000 mesin penggiling padi yang tersebar di seluruh daerah yang menghasilkan limbah berupa sekam padi 15 juta ton per tahun. Untuk kapasitas besar, beberapa mesin penggiling padi dapat menghasilkan limbah 10-20 ton sekam padi per hari. Limbah sering diartikan sebagai bahan buangan/bahan sisa dari proses pengolahan hasil pertanian. Proses penghancuran limbah secara alami berlangsung lambat, sehingga limbah tidak saja mengganggu lingkungan sekitarnya tetapi juga mengganggu kesehatan manusia. Pada setiap penggilingan padi akan selalu kita lihat tumpukan bahkan gunungan sekam yang semakin lama semakin tinggi. Saat ini pemanfaatan sekam padi tersebut masih sangat sedikit, sehingga sekam tetap menjadi bahan limbah yang mengganggu lingkungan. Alternatif pengolahan sekam sangatlah terbatas karena massa jenisnya yang rendah, dekomposisi secara alami sangat lambat, dapat menimbulkan penyakit pada tanaman padi maupun tanaman lain, kandungan mineral yang tinggi. Salah satu hal yang paling sering dilakukan petani terhadap sekam padi adalah dengan pembakaran., akan tetapi aktivitas ini dapat meningkatkan jumlah polutan dalam udara dan dapat mengganggu kesehatan masyarakat.
Sekam padi yang selama ini dipandang sebagai limbah yang dianggap sebagai polutan lingkungan sebenarnya adalah salah satu sumber energi biomasa yang dipandang penting untuk menanggulangi krisis energi belakangan ini khususnya di daerah pedesaan. Ketersediaan sekam padi di hampir 75 negara di dunia diperkirakan sekitar 100 juta ton dengan energi potensial berkisar 1,2 x 109 GJ/tahun dan mempunyai nilai kalor rata-rata 15 MJ/kg (Fang, 2004). Tidak seperti sumber bahan bakar fosil, ketersedian energi sekam padi tidak hanya jumlahnya berlimpah tetapi juga merupakan energi terbaharukan. Beberapa sumber energi biomasa mempunyai kendala akan besarnya biaya investasi untuk pengumpulan, transportasi dan penyimpanan. Akan tetapi untuk energi sekam padi, biaya-biaya diatas relatif lebih kecil karena lokasinya sudah terkonsentrasi pada pabrik-pabrik penggilingan padi. Jika suatu teknologi tersedia, bahan bakar sekam padi ini akan bisa dikonversi menjadi energi thermal untuk kebutuhan tenaga listrik di daerah pedesaan. Energi terbaharukan yang bersumber dari sekam padi telah lama dilirik penggunaannya dan bahkan telah dikonversi menjadi listrik di beberapa negara seperti China dan India. Salah satu alasan kenapa bahan bakar sekam padi masih jarang dipakai sebagai sumber energi yaitu karena kekurang-cukupan informasi tentang karakteristik dan emisi yang dihasilkannya.
Sekam padi merupakan lapisan keras yang meliputi kariopsis yang terdiri dari dua belahan yang disebut lemma dan palea yang saling bertautan. Pada proses penggilingan beras sekam akan terpisah dari butir beras dan menjadi bahan sisa atau limbah penggilingan. Sekam dikategorikan sebagai biomassa yang dapat digunakan untuk berbagai kebutuhan seperti bahan baku industri, pakan ternak dan energi atau bahan bakar. Dari proses penggilingan padi biasanya diperoleh sekam sekitar 20-30% dari bobot gabah. Sekam padi memiliki komponen utama seperti selulosa (31,4 – 36,3 %), hemiselulosa (2,9 – 11,8 %) , dan lignin (9,5 – 18,4 %) (Champagne, 2004). Selulosa dan hemiselulosa adalah suatu polisakarida yang dapat dipecah menjadi monosakarida untuk selanjutnya dapat dimanfaatkan untuk produksi senyawa-senyawa yang berguna, salah satunya adalah etanol. Produksi etanol dari suatu sumber daya alam terbarukan (untuk selanjutnya disebut bio-etanol) sejalan dengan program pemerintah melalui instruksi Presiden No 1 Tahun 2006 tanggal 25 Januari 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai bahan bakar alternatif.  Selain itu pemanfaatan sekam padi untuk produksi etanol berkontribusi pada penanganan limbah pertanian. Dari proses penggilingan padi biasanya diperoleh sekam sekitar 20-30%, dedak antara 8- 12% dan beras giling antara 50-63,5% data bobot awal gabah. Sekam dengan persentase yang tinggi tersebut dapat menimbulkan problem lingkungan.
Ditinjau data komposisi kimiawi, sekam mengandung beberapa unsur kimia penting seperti dapat dilihat pada tabel 1.
Komponen Persentase kandungan (%)
A Menurut Suharno (1979)
1 Kadar air 9,02
2 Protein kasar 3,03
3 Lemak 1,18
4 Serat kasar 35,68
5 Abu 17,71
6 Karbohidrat kasar 33,71
B Menurut DTC-IPB
1 Karbon (zat arang) 1,33
2 Hidrogen 1,54
3 Oksigen 33,64
4 Silika 16,98
Tabel 1 Komposisi kimiawi sekam
Dengan komposisi kandungan kimia seperti tersebut pada tabel 1, sekam dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan di antaranya: (a) sebagai bahan baku pada industri kimia, terutama kandungan zat kimia furfural yang dapat digunakan sebagai bahan baku dalam berbagai industri kimia, (b) sebagai bahan baku pada industri bahan bangunan,terutama kandungan silika (SiO2 ) yang dapat digunakan untuk campuran pada pembuatan semen portland, bahan isolasi, husk-board dan campuran pada industry bata merah, (c) sebagai sumber energy panas pada berbagai keperluan manusia, kadar selulosa yang cukup tinggi dapat memberikan pembakaran yang merata dan stabil. Sekam memiliki kerapatan jenis (bulk density) 125 kg/m3, dengan nilai kalori 1 kgsekam sebesar 3300 k. kalori. Menurut Houston (1972) sekam memiliki bulk density 0,100 g/ ml, nilai kalori antara 3300-3600 k. kalori/kg sekam dengan konduktivitas panas 0,271 BTU.
Dibandingkan bahan bakar fosil, sifat dan karakteristik bahan bakar biomasa lebih kompleks serta memerlukan persiapan dan pemrosesan yang lebih khusus. Sifat dan karakteristik meliputi berat jenis yang kecil sekitar 122 kg/m3, jumlah abu hasil pembakaran yang tinggi dengan temperatur titik lebur abu yang rendah. Abu hasil pembakaran berkisar antara 16-23% dengan kandungan silika senbesar 95%(Natarajan,1998). Titik lebur yang rendah disebabkan oleh kandungan alkali dan alkalin yang relatif tinggi. Kandungan uap air (moisture) pada biomasa umumnya lebih tinggi dibandingkan bahan bakar fosil, akan tetapi kandungan uap air pada sekam padi relatif sedikit karena sekam padi merupakan kulit padi yang kering sisa proses penggilingan. Sekam padi mempunyai panjang sekitar 8-10 mm dengan lebar 2-3 mm dan tebal 0,2 mm.
Karakteristik lain yang dimiliki bahan bakar sekam padi adalah kandungan zat volatil yang tinggi (high-volatile matter) yaitu zat yang mudah menguap. Kandungan zat volatilnya berkisar antara 60-80% dimana bahan bakar fosil hanya mempunyai 20-30% untuk jenis batu bara medium. Energi konversi yang dihasilkan lebih banyak berasal dari zat volatil ini dibandingkan dengan bara api (solid residue) biomasa (Ogada,1996).
REFERENSI
Affendi, Sugiyatno, Imam Djunaedi dan Haifa Wahyu KARAKTERISASI PLTD-SEKAM KAPASITAS 125 KVA DI PENGGILINGAN GABAH PT. PERTANI-INDRAMAYU, Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008 Universitas Lampung, 17-18 November 2008 ISBN : 978-979-1165-74-7 VI-2
Miyake, J.  The science of biohydrogen: an energetic view. Biohydrogen, (1998) 9-18.
Miyamoto, K., P.C. Hallenbeck, J.R. Benemann, Appl Environ Microbiol. 37 (1997) 454-458
Fang, M.  L. Yang, G. Chen, Z. Shi, Z. Luo, K. Cen, Experimental study on rice husk combustion in a CFB. Fuel Processing Technology 85;2004:1273-82.
Natarajan, E. , A. Nordin, A.N. Rao, Overview of combustion and gasification of rice husk in fluidized bed reactors. Biomass and Bioenergy 1998;14( 5-6):533-546.
Ogada, T. , J .Werther, Combustion characteristics of wet sludge in a fluidized bed: release and combustion of the volatiles. Fuel 1996;75:617–626.
Champagne, Elaine T. 2004. RICE: Chemistry and Technology. American Association of Cereal Chemists Inc. St.Paul, Minnesota, USA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar